Kamis, 10 Mei 2012

Kebudayaan Sebagai Akar Peradaban


KEBUDAYAAN SEBAGAI AKAR PERADABAN

(Menggugah Kesadaran Generasi Muda Terhadap Pentingnya Pembangunan Moral Melalui Akar Budaya Bangsa Berhadapan dengan Heterogenisasi Kebudayaan dan Peradaban Bangsa Lain)
·         Jepang, sebagai economic superpower nomor dua setelah Amerika, saat ini menjadi Negara yang sangat diperhitungkan oleh hampir seluruh negara di planet bumi ini.
·         Setelah kiamat yang diakibatkan oleh pesawat-pesawat tempur Amerika pada tahun 1945 meluluh-lantakan Nagasaki dan Hiroshima, dan praktis menghancurkan Jepang secara nasional, menciptakan tragedi dan penderitaan yang sangat menyakitkan seluruh rakyat Jepang. Namun sangat menakjubkan, 35 tahun kemudian, pada tahun 1980-an, produk-produk Jepang yang lebih murah dan bermutu mampu menghancurkan industri-industri utama Amerika.
·         Jauh sebelum itu, lebih dari 260 tahun sebelum tahun 1868, sebelum restorasi Meiji yang sangat menakjubkan dunia itu, Jepang hanyalah Negara melarat yang kehidupannya sangat amburadul. Petani hanya jadi obyek penindasan dan bulan-bulanan para penguasa yang saat itu berada di tangan shogunat, rezim pemerintahan militer, yang pemerintahannya disebut Bakufu.
Shogun yang menguasai Jepang saat itu ialah klan shogun Tokugawa, yang belakangan semakin tak memiliki jiwa kepemimpinan. Pola hidup malas dan bermewah-mewah, membangun istana-istana megah saling membanggakan diri, semakin memperburuk kondisi Jepang saat itu.
Kaisar hanya menjadi symbol kekuasaan.
Keadaan ini meresahkan para samurai yang sangat mengagungkan kesucian Kekaisaran Jepang yang dipercaya sebagai keturunan Dewa Matahari.
Dengan keberanian yang luar biasa, pada tahun 1868 itulah, para samurai Choshu dan Satsuma di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Saigo Takamori mengepung istana Shogun di Kyoto. Shogun terakhir Tokugawa,Yoshinobu berhasil digulingkan.
Matsuhito Meiji, seorang Kaisar muda berusia 15 tahun, yang baru saja naik tahta, dinyatakan sebagai penguasa baru Jepang. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo.
Yang memegang kendali di pemerintahan Jepang sebagai penasehat Kaisar adalah para samurai Choshu dan Satsuma, yaitu Pangeran Iwakura Tomomi, Kido Koin, Okubo Toshimichi, Jenderal Saigo Takamori sendiri dan Ito Hirobumi sebagai Perdana Menteri pertama Jepang. Usia mereka rata-rata 30-an tahun.
Sejak itu, Jepang mulai berubah. Dengan sangat brilian Jepang melakukan perubahan besar-besaran yang mencakup empat hal, yaitu:
·         Memikirkan secara serius Sumber Keuangan untuk menciptakan Negara yang kuat
·         Membangkitkan semangat nasionalisme
·         Membentuk armada militer dengan menggunakan system, metode dan teknologi persenjataan Barat sebagai pertahanan menghadapi Barat
·         Menciptakan masyarakat yang berinteligensia tinggi secara cepat untuk mengejar kemajuan Barat dengan cara mengembangan Sumber Daya Manusia yang kapabel dan akseptabel menerima perubahan dan perkembangan teknologi Barat
30 tahun kemudian sejak restorasi Meiji dimulai, Jepang telah menguasai pasar tekstil dunia, bahkan pada tahun 1905 dengan sangat menakjubkan mampu mengalahkan armada Rusia yang dianggap salah satu kekuatan terbesar di Eropa.
Yang menarik untuk dikaji di sini adalah bahwa Jepang sebagai economic superpower kedua setelah Amerika, yang menguasai perekonomian lebih setengah belahan dunia, dan tentunya sangat akseptabel terhadap budaya dari Negara manapun terutama Amerika, tak kehilangan akar budaya dan peradaban yang sangat signifikan seharusnya dapat merusak tata nilai masyarakat Jepang.
Kemajuan dalam bentuk apapun yang berkembang di planet bumi tak menggoyahkan tata nilai kebudayaan dan peradaban Jepang. Masyarakat Jepang sangat patuh, arif dan santun menjaga kelestarian budaya mereka. Bahkan semangat Busidho yang diwariskan nenek-moyang mereka menjadi holy-spirit bagi seluruh pokok-pokok fikiran dan kinerja mereka di segala bidang.
Jepang muncul sebagai Negara maju yang sangat patuh pada warisan nenek-moyang, kebudayaan dan peradaban yang telah menyatu dengan seluruh peri kehidupan mereka. Kemajuan teknologi harus dikemas dengan bahasa budaya mereka tanpa mengurangi atau menghambat derivasi atau inovasi teknologi di segala bidang, termasuk informatika dan telekomunikasi yang terus menuntut peningkatan dan pengembangan sains di seluruh belahan dunia ini.
Ilustrasi Jepang sebagai Negara maju seharusnya menjadi tantangan bagi kita, sebagai Negara yang justru pernah menjadi Negara besar, disegani bukan saja antar kerajaan-kerajaan di dalam negeri, tetapi Negara mancanegara pada zamannya, bahkan jauh sebelum era restorasi Meiji di Jepang.
Pada masa itu, di abad ke-14 setidaknya peta geopolitik di Asia Tenggara mencakup empat lingkaran besar, yaitu: India, Cina, Asia Tenggara (lama) dan Nusantara Raya (Majapahit). Temuan ini sangat mengejutkan kita. Ternyata lebih enam ratus tahun lalu kita telah membukukan daerah teritorial yang sangat luas dan mempunyai kekuatan politik yang diakui oleh mancanegara.
Hayam Wuruk bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya dengan telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang sangat jelas mengenai luas wilayah Majapahit yang merupakan rantai kepulauan besar nusantara, menurut Mohammad Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama pupuh XIII-XIV) terbagi dalam daerah yang delapan, yaitu:
1.      Seluruh Jawa
2.      Seluruh Pulau Sumatra (Melayu)
3.      Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara/Tanjung Pura)
4.      Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka/Hujung Medini)
5.      Seluruh Nusa Tenggara
6.      Seluruh Sulawesi
7.      Seluruh Maluku
8.      Seluruh Papua/Irian (Barat)
Sejarah mencatat tahun 1357 Majapahit berhasil mempersatukan seluruh nusantara dalam satu panji, gula-kelapa (baca: merah-putih). Sejak itu basis militer dipindahkan dari Bali ke Dompo. Kestabilan keamanan saat itu menciptakan iklim yang kondusif. Pertumbuhan ekonomi secara signifikan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sampai ke peloksok desa.
Lebih dari enam ratus tahun lalu, bangsa kita telah membukukan sejarah yang tercatat bukan saja oleh para pujangga, namun dalam laporan kenegaraan negara lain, termasuk Cina, negara adikuasa di Asia Selatan saat itu.
Majapahit, dengan luas wilayah teritorial lebih luas dari Indonesia saat ini, ternyata tercatat dalam sejarah sebagai negara maritim yang mampu dan berhasil meciptakan konsepsi wawasan Nusantara pada sektor-sektor perekonomian, sosial, pemberdayaan potensi sumber daya alam, politik, keamanan dan kebudayaan yang sangat signifikan dan inheren memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat di seluruh persada Nusantara, sampai ke negara-negara yang sekarang kita kenal dengan Malaysia, Singapura dan Brunei, yang dulu adalah bagian dari wilayah Nusantara Raya.
Kejayaan Majapahit sebagai cikal-bakal negara kesatuan Republik Indonesia bukan dongeng menjelang tidur.
Di bawah kepemimpinan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi, Majapahit tercatat dalam sejarah menjadi negara besar di kawasan Asia Tenggara. Negara yang mampu membawa rakyatnya hidup makmur, sejahtera, adil, gemah ripah loh jinawi dengan kestabilan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang luar biasa.
Sumber daya alam menjadi kekayaan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dioptimalkannya bandar besar di Selat Malaka secara tidak langsung pada saat itu telah memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap kemajuan perekonomian Nusantara Raya.
Kebesaran nama Majapahit meluas sampai ke negara tetangga. Berkat tangan dingin Gajah Mada dan Hayam Wuruk Majapahit menjadi negara yang sangat mashur di Asia Tenggara.
Beberapa pengelana Cina menggambarkan Majapahit sebagai negara yang makmur. Rombongan Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho pada tahun 1416 berkunjung ke Majapahit dengan dua puluh dua jung besar yang mengangkut tidak kurang dari dua puluh tujuh ribu prajurit. Ikut dalam rombongan itu seorang agamawan Cina bernama Ma Huan yang menyajikan uraian mengenai geografi Majapahit dalam karyanya yang berjudul: Ying-yai Sheng-lan.
Lebih dari 170 tahun Majapahit sebagai Negara Maritim terbukti mampu membawa bangsa ini hidup makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, tanpa satupun bangsa asing mampu memporakporandakannya, apalagi menjajah Negara besar ini.
Di bawah ideologi dan falsafah dasar yang sangat keramat dan sakral, sebagai holy-spirit Gajah Mada memimpin bangsa ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab Sutasoma karya besar Rakawi Tantular.
Namun sayang, setelah keruntuhannya pada tahun 1478 karena pertikaian suksesi antar kerabat yang sangat klise, Majapahit runtuh oleh perebutan kekuasaan, dan Indonesia saat itu mulai kehilangan makna. Perpecahan tak dapat dihindari. Kerajaan yang tersebar di seluruh persada Nusantara ini mulai berantakan, menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tak punya kekuatan apapun.
Kerajaan-kerajaan pesisir yang sangat potensial sebagai Negara maritim, yang dulu berada di bawah Majapahit mulai saling mempertahankan teritorialnya masing-masing. Demak yang kemudian ‘dianggap’ menggantikan kedudukan Majapahit ternyata tak mampu mempertahankan rantai kepulauan Nusantara yang sudah disatukan oleh Gajah Mada.
Tahun 1511, Demak tak mampu mempertahanan Selat Malaka yang pada zaman Majapahit menjadi soko guru perekonomian maritim Nusantara Raya.
Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Salah satu faktor strategis inilah yang menyebabkan Demak gagal mengembalikan kebesaran Negara maritim yang sudah dirintis oleh Gajah Mada.
Maritim sebagai tulang punggung perekonomian bangsa semakin pudar terlebih ketika bergantian Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang dengan seenaknya mengobok-obok kekayaan bangsa kita dalam segala bidang.
Nusantara Raya hilang dari percaturan planet bumi. Para anak-cucu founding-father Negara Maritim terbesar di belahan selatan Asia ini semakin tak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi pewaris tahta atas tanah yang dianugerahkan Allah dengan berjuta sumber daya alam yang sangat kaya ini.
Saat ini, kita harus yakin bahwa Kebhinnekaan yang dicanangkan Gajah Mada lebih dari enam ratus tahun lalu, masih sangat strategis sebagai shared-value bangsa besar ini untuk bangkit dari tidur panjang.
Kebudayaan sebagai akar peradaban bangsa tercatat memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan kehidupan berbangsa di kemudian hari. Kekayaan budaya bangsa terbukti mampu kembali membawa bangsa ini menjadi bangsa yang beradab setelah selama 3,5 abad menjadi bangsa terbelakang yang nyaris tak memiliki kemampuan untuk ‘memiliki’ tanah air tercinta ini.
Selama 3,5 abad terjajah, kita seperti kehilangan akar budaya dan peradaban sebagai pijakan kita atas tanah warisan nenek-moyang ini. Kita kehilangan jati diri.
Baru pada tahun 1928 kita mulai menyadari pentingnya persatuan dan kesatuan kembali menjadi pijakan filsafati bangsa sebagai roh dari akar budaya dan peradaban bangsa.
Roh ini kemudian terbukti mampu mengembalikan kepercayaan diri bangsa merebut harta termahal yang pernah dimiliki, yaitu kemerdekaan dan harga diri sebagai bangsa dan Negara berdaulat dengan diproklamirkannya eksistensi bangsa dan Negara kesatuan ini pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dengan tertatih-tatih kita mulai kembali merestrukturisasi tatanan budaya dan peradaban bangsa yang nyaris porak-poranda oleh ketamakan dan kerakusan bangsa asing menguras habis bukan saja sumber daya alam kita, tapi yang lebih penting lagi adalah tatanan moral dan mentalitas bangsa yang pernah besar lebih dari enam ratus tahun lalu.
Kesadaran sebagai bangsa besar dengan luas Negara meliputi perairan luas dan ribuan pulau terbentang sebagai rantai mutu manikam dengan berjuta keanekaragaman kekayaan flora-fauna, budaya dan bahasa telah memberikan semangat pada kita untuk kembali ‘memiliki’ harta yang sempat ‘hilang’ itu.
Kini, enam ratus tahun setelah Majapahit ‘mendeklarasikan’ persatuan Nusantara pada tahun 1357, kita kembali ‘mendeklarasikan’ persatuan Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 sebagai tonggak sejarah lahirnya Wawasan Nusantara.
Batas laut teritorial yang sebelumnya diatur di dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordinatie 1939 (Ordinasi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) peninggalan kolonial Belanda, mengalami perubahan. Wilayah laut Indonesia menjadi lebih luas. Walau Deklarasi Djuanda ditolak pada Konferensi Hukum Laut di Geneva tahun 1958, namun momentum ini cukup memberikan semangat maritim yang pernah ada sejak zaman Indonesia purba dulu.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Februari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Sedang Konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara melalui Ketetapan MPRS No. IV tahun 1973. Tahun 1978 pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva, konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia Internasional.
Dan, pada 10 Desember 1982, dengan perjuangan diplomatik yang tak kenal lelah, konsep Wawasan Nusantara dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 31 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Apalagi kemudian pada tanggal 26 September 1998, B.J. Habibie mengumumkan deklarasi yang populer dikenal dengan Deklarasi Bunaken, menyatakan bahwa sudah waktunya visi pembangunan dan persatuan Indonesia berorientasi ke laut.
Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia mulai kembali memiliki kepercayaan diri memiliki 3,9 juta km² luas lautan yang terbentang di antara 17.500 lebih pulau yang tercatat sebagai pulau terbanyak di dunia.
Yang menarik, adalah bahwa Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi Wawasan Nusantara.
Sedang Wawasan Nusantara sebenarnya adalah implementasi dari Politik Nusantara yang diterapkan oleh Gajah Mada, Mahapatih Amangkubumi Majapahit lebih dari 600 tahun lalu.
Kata Nusantara antara lain terdapat pada prasasti Penampihan bertarikh 1269, Serat Pararaton dan Nagarakretagama karya Rakawi Prapanca. Dan tidak diragukan, kata Nusantara yang kita pergunakan sampai hari ini terambil dari kepopuleran program politik Nusantara Gajah Mada.
Mau disadari atau tidak, kita ‘sangat’ mengakui eksistensi Gajah Mada yang telah berhasil mempersatukan nusantara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, bahkan lebih luas lagi.
Kita tak ingin mundur ke masa lalu.
Mempelajari sejarah kebesaran bangsa masa lalu semata-mata sebagai langkah strategis mengamati tata-nilai yang dapat diterjemahkan ke masa depan, yang mutlak menjadi tanggungjawab seluruh anak bangsa, terutama generasi muda.
Keterpurukan yang sudah tak berujung di segala sektor ini memberikan tekanan yang sangat serius untuk disikapi. Bangsa ini sekarang nyaris kehilangan jati diri, kita tak lagi mampu mengenali diri kita sendiri.
Kebudayaan dan peradaban yang pernah kita miliki, yang pernah membawa bangsa ini menjadi bangsa besar dan disegani, menjadi tak lagi jelas asal-usulnya. Adaptasi kebudayaan dan peradaban dari Negara luar begitu mencengkeram seluruh urat nadi kehidupan masyarakat dan bangsa, sampai ke peloksok desa.
Seharusnya, kita tak perlu alergi menerima budaya dan peradaban dari Negara manapun apabila tetap konsisten menjaga warisan akar budaya dan peradaban yang memang menjadi milik kita secara an-sich sebagai harta ternahal yang sudah ada di bumi nusantara ini, setidaknya lebih dari enam ratus tahun lalu.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada masa restorasi Meiji di Jepang sejak tahun 1868, yang telah mengantarkan Jepang menjadi Negara economic superpower nomor dua di dunia setelah Amerika.
Kebudayaan dan peradaban barat yang menjadi sumber inspirasi Jepang di kemudian hari terbukti menjadi kekuatan besar Jepang mengalahkan ‘guru’ mereka di segala bidang.
Restorasi Meiji ternyata sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh Majapahit di bawah kepemimpinan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit.
Dalam usianya yang relatif sangat muda (34 tahun) pada saat menjadi Mahapatih Amangkubumi, Gajah Mada dengan sangat berani melakukan restrukturisasi besar-besaran dengan mengganti semua kabinet lama dengan orang-orang baru yang relatif sangat muda.
Gajah Mada dengan begitu berani mencanangkan konsepsi Negara maritim bagi Majapahit mengingat Nusantara Raya adalah wawasan yang di kelilingi lautan. Dan dengan sangat brilian Gajah Mada merekrut para ahli kemaritiman bukan ‘orang-orang’ Jawa, melainkan dari Sulawesi, Sumatra dan daerah lain yang terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung sejak zaman Sriwijaya yang terbukti mampu menguasai setengah belahan Nusantara Raya.
Saat ini, sudah selayaknya kita memberikan high-light yang sangat besar pada sikap, mental, moral dan kinerja SDM Gajah Mada untuk bangkit dari keterpurukan panjang.
Kebudayaan dan peradaban yang datang dari belahan dunia manapun bukan menjadi ancaman, bahkan sebuah tantangan yang harus mampu kita hadapi dengan sangat arif dan santun namun sangat mengindahkan kaidah dan tata-nilai yang sudah ada di bumi Dwipantara warisan nenek-moyang yang telah membuktikan kebesarannya bukan saja tercatat dalam sejarah bangsa, namun Negara mancanegara pada zamannya.
Kinerja Gajah Mada benar menjadi otokritik buat kita sebagai anak bangsa, terutama generasi muda sebagai tulang punggung masa depan bangsa dan tanah air tercinta ini.
Sebagai holy-spirit, Gajah Mada telah memberikan kekuatan moral, mentalitas dan semangat untuk bangkit bagi bangsa yang pernah mengalami zaman keemasan ini.                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar