KEBUDAYAAN
SEBAGAI AKAR PERADABAN
(Menggugah Kesadaran Generasi Muda Terhadap Pentingnya Pembangunan Moral Melalui Akar Budaya Bangsa Berhadapan dengan Heterogenisasi Kebudayaan dan Peradaban Bangsa Lain)
·
Jepang, sebagai economic
superpower nomor dua setelah Amerika, saat ini menjadi Negara yang sangat
diperhitungkan oleh hampir seluruh negara di planet bumi ini.
·
Setelah kiamat yang
diakibatkan oleh pesawat-pesawat tempur Amerika pada tahun 1945
meluluh-lantakan Nagasaki dan Hiroshima, dan praktis menghancurkan Jepang
secara nasional, menciptakan tragedi dan penderitaan yang sangat menyakitkan
seluruh rakyat Jepang. Namun sangat menakjubkan, 35 tahun kemudian, pada tahun
1980-an, produk-produk Jepang yang lebih murah dan bermutu mampu menghancurkan
industri-industri utama Amerika.
·
Jauh sebelum itu, lebih
dari 260 tahun sebelum tahun 1868, sebelum restorasi Meiji yang sangat
menakjubkan dunia itu, Jepang hanyalah Negara melarat yang kehidupannya sangat
amburadul. Petani hanya jadi obyek penindasan dan bulan-bulanan para penguasa
yang saat itu berada di tangan shogunat, rezim pemerintahan militer, yang
pemerintahannya disebut Bakufu.
Shogun yang menguasai Jepang saat itu ialah klan
shogun Tokugawa, yang belakangan semakin tak memiliki jiwa kepemimpinan. Pola
hidup malas dan bermewah-mewah, membangun istana-istana megah saling
membanggakan diri, semakin memperburuk kondisi Jepang saat itu.
Kaisar hanya menjadi symbol kekuasaan.
Keadaan ini meresahkan para samurai yang sangat
mengagungkan kesucian Kekaisaran Jepang yang dipercaya sebagai keturunan Dewa
Matahari.
Dengan keberanian yang luar biasa, pada tahun
1868 itulah, para samurai Choshu dan Satsuma di bawah kepemimpinan Jenderal
Besar Saigo Takamori mengepung istana Shogun di Kyoto. Shogun terakhir
Tokugawa,Yoshinobu berhasil digulingkan.
Matsuhito Meiji, seorang Kaisar muda berusia 15
tahun, yang baru saja naik tahta, dinyatakan sebagai penguasa baru Jepang.
Pusat pemerintahan dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo.
Yang memegang kendali di pemerintahan Jepang
sebagai penasehat Kaisar adalah para samurai Choshu dan Satsuma, yaitu Pangeran
Iwakura Tomomi, Kido Koin, Okubo Toshimichi, Jenderal Saigo Takamori sendiri
dan Ito Hirobumi sebagai Perdana Menteri pertama Jepang. Usia mereka rata-rata
30-an tahun.
Sejak itu, Jepang mulai berubah. Dengan sangat
brilian Jepang melakukan perubahan besar-besaran yang mencakup empat hal,
yaitu:
·
Memikirkan secara serius
Sumber Keuangan untuk menciptakan Negara yang kuat
·
Membangkitkan semangat
nasionalisme
·
Membentuk armada militer
dengan menggunakan system, metode dan teknologi persenjataan Barat sebagai
pertahanan menghadapi Barat
·
Menciptakan masyarakat
yang berinteligensia tinggi secara cepat untuk mengejar kemajuan Barat dengan
cara mengembangan Sumber Daya Manusia yang kapabel dan akseptabel menerima
perubahan dan perkembangan teknologi Barat
30 tahun kemudian sejak restorasi Meiji dimulai,
Jepang telah menguasai pasar tekstil dunia, bahkan pada tahun 1905 dengan
sangat menakjubkan mampu mengalahkan armada Rusia yang dianggap salah satu
kekuatan terbesar di Eropa.
Yang menarik untuk dikaji di sini adalah bahwa
Jepang sebagai economic superpower kedua setelah Amerika, yang menguasai
perekonomian lebih setengah belahan dunia, dan tentunya sangat akseptabel
terhadap budaya dari Negara manapun terutama Amerika, tak kehilangan akar
budaya dan peradaban yang sangat signifikan seharusnya dapat merusak tata nilai
masyarakat Jepang.
Kemajuan dalam bentuk apapun yang berkembang di
planet bumi tak menggoyahkan tata nilai kebudayaan dan peradaban Jepang.
Masyarakat Jepang sangat patuh, arif dan santun menjaga kelestarian budaya
mereka. Bahkan semangat Busidho yang diwariskan nenek-moyang mereka menjadi
holy-spirit bagi seluruh pokok-pokok fikiran dan kinerja mereka di segala
bidang.
Jepang muncul sebagai Negara maju yang sangat
patuh pada warisan nenek-moyang, kebudayaan dan peradaban yang telah menyatu
dengan seluruh peri kehidupan mereka. Kemajuan teknologi harus dikemas dengan
bahasa budaya mereka tanpa mengurangi atau menghambat derivasi atau inovasi
teknologi di segala bidang, termasuk informatika dan telekomunikasi yang terus
menuntut peningkatan dan pengembangan sains di seluruh belahan dunia ini.
Ilustrasi Jepang sebagai Negara maju seharusnya
menjadi tantangan bagi kita, sebagai Negara yang justru pernah menjadi Negara
besar, disegani bukan saja antar kerajaan-kerajaan di dalam negeri, tetapi
Negara mancanegara pada zamannya, bahkan jauh sebelum era restorasi Meiji di
Jepang.
Pada masa itu, di abad ke-14 setidaknya peta
geopolitik di Asia Tenggara mencakup empat lingkaran besar, yaitu: India, Cina,
Asia Tenggara (lama) dan Nusantara Raya (Majapahit). Temuan ini sangat
mengejutkan kita. Ternyata lebih enam ratus tahun lalu kita telah membukukan
daerah teritorial yang sangat luas dan mempunyai kekuatan politik yang diakui
oleh mancanegara.
Hayam Wuruk bersama-sama Gajah Mada, orang yang
memomongnya dengan telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan
yang sangat jelas mengenai luas wilayah Majapahit yang merupakan rantai
kepulauan besar nusantara, menurut Mohammad Yamin (berdasarkan uraian
Nagarakretagama pupuh XIII-XIV) terbagi dalam daerah yang delapan, yaitu:
1. Seluruh Jawa
2. Seluruh Pulau Sumatra (Melayu)
3. Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara/Tanjung
Pura)
4. Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka/Hujung
Medini)
5. Seluruh Nusa Tenggara
6. Seluruh Sulawesi
7. Seluruh Maluku
8. Seluruh Papua/Irian (Barat)
Sejarah mencatat tahun 1357 Majapahit berhasil
mempersatukan seluruh nusantara dalam satu panji, gula-kelapa (baca:
merah-putih). Sejak itu basis militer dipindahkan dari Bali ke Dompo.
Kestabilan keamanan saat itu menciptakan iklim yang kondusif. Pertumbuhan
ekonomi secara signifikan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sampai
ke peloksok desa.
Lebih dari enam ratus tahun lalu, bangsa kita
telah membukukan sejarah yang tercatat bukan saja oleh para pujangga, namun
dalam laporan kenegaraan negara lain, termasuk Cina, negara adikuasa di Asia
Selatan saat itu.
Majapahit, dengan luas wilayah teritorial lebih
luas dari Indonesia saat ini, ternyata tercatat dalam sejarah sebagai negara
maritim yang mampu dan berhasil meciptakan konsepsi wawasan Nusantara pada
sektor-sektor perekonomian, sosial, pemberdayaan potensi sumber daya alam,
politik, keamanan dan kebudayaan yang sangat signifikan dan inheren memberikan
kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat di seluruh persada
Nusantara, sampai ke negara-negara yang sekarang kita kenal dengan Malaysia,
Singapura dan Brunei, yang dulu adalah bagian dari wilayah Nusantara Raya.
Kejayaan Majapahit sebagai cikal-bakal negara
kesatuan Republik Indonesia bukan dongeng menjelang tidur.
Di bawah kepemimpinan Gajah Mada sebagai
Mahapatih Amangkubumi, Majapahit tercatat dalam sejarah menjadi negara besar di
kawasan Asia Tenggara. Negara yang mampu membawa rakyatnya hidup makmur,
sejahtera, adil, gemah ripah loh jinawi dengan kestabilan ekonomi, sosial,
politik dan keamanan yang luar biasa.
Sumber daya alam menjadi kekayaan yang dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dioptimalkannya bandar besar di Selat Malaka
secara tidak langsung pada saat itu telah memberikan kontribusi yang sangat
tinggi terhadap kemajuan perekonomian Nusantara Raya.
Kebesaran nama Majapahit meluas sampai ke negara
tetangga. Berkat tangan dingin Gajah Mada dan Hayam Wuruk Majapahit menjadi
negara yang sangat mashur di Asia Tenggara.
Beberapa pengelana Cina menggambarkan Majapahit
sebagai negara yang makmur. Rombongan Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho
pada tahun 1416 berkunjung ke Majapahit dengan dua puluh dua jung besar yang
mengangkut tidak kurang dari dua puluh tujuh ribu prajurit. Ikut dalam
rombongan itu seorang agamawan Cina bernama Ma Huan yang menyajikan uraian
mengenai geografi Majapahit dalam karyanya yang berjudul: Ying-yai Sheng-lan.
Lebih dari 170 tahun Majapahit sebagai Negara
Maritim terbukti mampu membawa bangsa ini hidup makmur, sejahtera, gemah ripah
loh jinawi, tanpa satupun bangsa asing mampu memporakporandakannya, apalagi
menjajah Negara besar ini.
Di bawah ideologi dan falsafah dasar yang sangat
keramat dan sakral, sebagai holy-spirit Gajah Mada memimpin bangsa ini, yaitu:
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab
Sutasoma karya besar Rakawi Tantular.
Namun sayang, setelah keruntuhannya pada tahun
1478 karena pertikaian suksesi antar kerabat yang sangat klise, Majapahit
runtuh oleh perebutan kekuasaan, dan Indonesia saat itu mulai kehilangan makna.
Perpecahan tak dapat dihindari. Kerajaan yang tersebar di seluruh persada
Nusantara ini mulai berantakan, menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang tak punya
kekuatan apapun.
Kerajaan-kerajaan pesisir yang sangat potensial
sebagai Negara maritim, yang dulu berada di bawah Majapahit mulai saling
mempertahankan teritorialnya masing-masing. Demak yang kemudian ‘dianggap’
menggantikan kedudukan Majapahit ternyata tak mampu mempertahankan rantai
kepulauan Nusantara yang sudah disatukan oleh Gajah Mada.
Tahun 1511, Demak tak mampu mempertahanan Selat
Malaka yang pada zaman Majapahit menjadi soko guru perekonomian maritim
Nusantara Raya.
Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Salah satu faktor strategis inilah yang
menyebabkan Demak gagal mengembalikan kebesaran Negara maritim yang sudah
dirintis oleh Gajah Mada.
Maritim sebagai tulang punggung perekonomian
bangsa semakin pudar terlebih ketika bergantian Portugis, Belanda, Inggris dan
Jepang dengan seenaknya mengobok-obok kekayaan bangsa kita dalam segala bidang.
Nusantara Raya hilang dari percaturan planet
bumi. Para anak-cucu founding-father Negara Maritim terbesar di belahan selatan
Asia ini semakin tak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi pewaris tahta atas
tanah yang dianugerahkan Allah dengan berjuta sumber daya alam yang sangat kaya
ini.
Saat ini, kita harus yakin bahwa Kebhinnekaan
yang dicanangkan Gajah Mada lebih dari enam ratus tahun lalu, masih sangat
strategis sebagai shared-value bangsa besar ini untuk bangkit dari tidur
panjang.
Kebudayaan sebagai akar peradaban bangsa
tercatat memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan kehidupan
berbangsa di kemudian hari. Kekayaan budaya bangsa terbukti mampu kembali
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang beradab setelah selama 3,5 abad menjadi
bangsa terbelakang yang nyaris tak memiliki kemampuan untuk ‘memiliki’ tanah
air tercinta ini.
Selama 3,5 abad terjajah, kita seperti
kehilangan akar budaya dan peradaban sebagai pijakan kita atas tanah warisan
nenek-moyang ini. Kita kehilangan jati diri.
Baru pada tahun 1928 kita mulai menyadari
pentingnya persatuan dan kesatuan kembali menjadi pijakan filsafati bangsa
sebagai roh dari akar budaya dan peradaban bangsa.
Roh ini kemudian terbukti mampu mengembalikan
kepercayaan diri bangsa merebut harta termahal yang pernah dimiliki, yaitu
kemerdekaan dan harga diri sebagai bangsa dan Negara berdaulat dengan diproklamirkannya
eksistensi bangsa dan Negara kesatuan ini pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Dengan tertatih-tatih kita mulai kembali
merestrukturisasi tatanan budaya dan peradaban bangsa yang nyaris porak-poranda
oleh ketamakan dan kerakusan bangsa asing menguras habis bukan saja sumber daya
alam kita, tapi yang lebih penting lagi adalah tatanan moral dan mentalitas
bangsa yang pernah besar lebih dari enam ratus tahun lalu.
Kesadaran sebagai bangsa besar dengan luas
Negara meliputi perairan luas dan ribuan pulau terbentang sebagai rantai mutu
manikam dengan berjuta keanekaragaman kekayaan flora-fauna, budaya dan bahasa
telah memberikan semangat pada kita untuk kembali ‘memiliki’ harta yang sempat
‘hilang’ itu.
Kini, enam ratus tahun setelah Majapahit
‘mendeklarasikan’ persatuan Nusantara pada tahun 1357, kita kembali
‘mendeklarasikan’ persatuan Nusantara yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda, 13
Desember 1957 sebagai tonggak sejarah lahirnya Wawasan Nusantara.
Batas laut teritorial yang sebelumnya diatur di
dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordinatie 1939 (Ordinasi tentang Laut
Teritorial dan Lingkungan Maritim) peninggalan kolonial Belanda, mengalami
perubahan. Wilayah laut Indonesia menjadi lebih luas. Walau Deklarasi Djuanda
ditolak pada Konferensi Hukum Laut di Geneva tahun 1958, namun momentum ini
cukup memberikan semangat maritim yang pernah ada sejak zaman Indonesia purba
dulu.
Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18
Februari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang perairan
Indonesia. Sedang Konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai
dasar pokok pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara melalui Ketetapan MPRS
No. IV tahun 1973. Tahun 1978 pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh
di Geneva, konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia Internasional.
Dan, pada 10 Desember 1982, dengan perjuangan
diplomatik yang tak kenal lelah, konsep Wawasan Nusantara dapat diterima dan
ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang kemudian dituangkan dalam
Undang-Undang No. 17 tanggal 31 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Apalagi kemudian pada tanggal 26 September 1998,
B.J. Habibie mengumumkan deklarasi yang populer dikenal dengan Deklarasi
Bunaken, menyatakan bahwa sudah waktunya visi pembangunan dan persatuan
Indonesia berorientasi ke laut.
Sebagai negara maritim terbesar di dunia,
Indonesia mulai kembali memiliki kepercayaan diri memiliki 3,9 juta km² luas
lautan yang terbentang di antara 17.500 lebih pulau yang tercatat sebagai pulau
terbanyak di dunia.
Yang menarik, adalah bahwa Deklarasi Djuanda
melahirkan konsepsi Wawasan Nusantara.
Sedang Wawasan Nusantara sebenarnya adalah
implementasi dari Politik Nusantara yang diterapkan oleh Gajah Mada, Mahapatih
Amangkubumi Majapahit lebih dari 600 tahun lalu.
Kata Nusantara antara lain terdapat pada
prasasti Penampihan bertarikh 1269, Serat Pararaton dan Nagarakretagama karya
Rakawi Prapanca. Dan tidak diragukan, kata Nusantara yang kita pergunakan
sampai hari ini terambil dari kepopuleran program politik Nusantara Gajah Mada.
Mau disadari atau tidak, kita ‘sangat’ mengakui
eksistensi Gajah Mada yang telah berhasil mempersatukan nusantara yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke, bahkan lebih luas lagi.
Kita tak ingin mundur ke masa lalu.
Mempelajari sejarah kebesaran bangsa masa lalu
semata-mata sebagai langkah strategis mengamati tata-nilai yang dapat
diterjemahkan ke masa depan, yang mutlak menjadi tanggungjawab seluruh anak
bangsa, terutama generasi muda.
Keterpurukan yang sudah tak berujung di segala
sektor ini memberikan tekanan yang sangat serius untuk disikapi. Bangsa ini
sekarang nyaris kehilangan jati diri, kita tak lagi mampu mengenali diri kita
sendiri.
Kebudayaan dan peradaban yang pernah kita
miliki, yang pernah membawa bangsa ini menjadi bangsa besar dan disegani,
menjadi tak lagi jelas asal-usulnya. Adaptasi kebudayaan dan peradaban dari
Negara luar begitu mencengkeram seluruh urat nadi kehidupan masyarakat dan
bangsa, sampai ke peloksok desa.
Seharusnya, kita tak perlu alergi menerima
budaya dan peradaban dari Negara manapun apabila tetap konsisten menjaga
warisan akar budaya dan peradaban yang memang menjadi milik kita secara an-sich
sebagai harta ternahal yang sudah ada di bumi nusantara ini, setidaknya lebih
dari enam ratus tahun lalu.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada masa
restorasi Meiji di Jepang sejak tahun 1868, yang telah mengantarkan Jepang
menjadi Negara economic superpower nomor dua di dunia setelah Amerika.
Kebudayaan dan peradaban barat yang menjadi
sumber inspirasi Jepang di kemudian hari terbukti menjadi kekuatan besar Jepang
mengalahkan ‘guru’ mereka di segala bidang.
Restorasi Meiji ternyata sangat mirip dengan apa
yang dilakukan oleh Majapahit di bawah kepemimpinan Gajah Mada sebagai
Mahapatih Amangkubumi Majapahit.
Dalam usianya yang relatif sangat muda (34
tahun) pada saat menjadi Mahapatih Amangkubumi, Gajah Mada dengan sangat berani
melakukan restrukturisasi besar-besaran dengan mengganti semua kabinet lama
dengan orang-orang baru yang relatif sangat muda.
Gajah Mada dengan begitu berani mencanangkan
konsepsi Negara maritim bagi Majapahit mengingat Nusantara Raya adalah wawasan
yang di kelilingi lautan. Dan dengan sangat brilian Gajah Mada merekrut para
ahli kemaritiman bukan ‘orang-orang’ Jawa, melainkan dari Sulawesi, Sumatra dan
daerah lain yang terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung sejak zaman Sriwijaya
yang terbukti mampu menguasai setengah belahan Nusantara Raya.
Saat ini, sudah selayaknya kita memberikan
high-light yang sangat besar pada sikap, mental, moral dan kinerja SDM Gajah
Mada untuk bangkit dari keterpurukan panjang.
Kebudayaan dan peradaban yang datang dari
belahan dunia manapun bukan menjadi ancaman, bahkan sebuah tantangan yang harus
mampu kita hadapi dengan sangat arif dan santun namun sangat mengindahkan
kaidah dan tata-nilai yang sudah ada di bumi Dwipantara warisan nenek-moyang
yang telah membuktikan kebesarannya bukan saja tercatat dalam sejarah bangsa,
namun Negara mancanegara pada zamannya.
Kinerja Gajah Mada benar menjadi otokritik buat
kita sebagai anak bangsa, terutama generasi muda sebagai tulang punggung masa
depan bangsa dan tanah air tercinta ini.
Sebagai holy-spirit, Gajah Mada telah memberikan
kekuatan moral, mentalitas dan semangat untuk bangkit bagi bangsa yang pernah
mengalami zaman keemasan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar