Sabtu, 23 November 2013

ANALISA RAGAM BAHASA INDONESIA


ANALISA RAGAM BAHASA INDONESIA

Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa merupakan salah satu unsur identitas nasional. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambangan yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi manusia. Di Indonesia terdapat beragam bahasa daerah yang mewakili banyaknya suku-suku bangsa atau etnis.

Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dahulu dikenal dengan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung antar etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-suku, bahasa melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan internasional di kawasan kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa Indonesia dengan para pedagang asing.

Telah dikemukakan pada beberapa kesempatan, mengapa bahasa melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia yang merupakan suatu hal yang menggembirakan.
Dibandingkan dengan bahasa lain yang dapat dicalonkan menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa jawa (yang menjadi bahasa ibu bagisekitar setengah penduduk Indonesia), bahasa melayu merupakan bahasa yang kurang berarti. Di Indonesia, bahasaitu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai diseberang Sumatera. Namun justru karena pertimbangan itu jualah pemilihan bahasa jawa akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.

Alasan kedua, mengapa bahasa melayu lebih berterima dari pada bahasa jawa, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara reksikal, seperti diketahui, bahasa jawa mempunyai beribu-ribu morfen leksikal dan bahkan beberapa yang bersifat gramatikal.
Faktor yang paling penting adalah juga kenyataannya bahwa bahasa melayu mempunyai sejara yang panjang sebagai ligua France.

Dari sumber-sumber China kuno dan kemudian juga dari sumber Persia dan Arab, kita ketahui bahwa kerajaan Sriwijaya di sumatera Timur paling tidak sejak abad ke -7 merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha serta sebuah negara yang maju yang perdagangannya didasarkan pada perdagangan antara Cina, India dan pulau-pulau di Asia Tenggara. Bahas melayu mulai dipakai dikawasan Asia Tenggara sejak Abad ke-7. bukti-bukti yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di kedukan bukit karangka tahun 683 M (palembang), talang tuwo berangka tahun 684 M (palembang), kota kapur berangka tahun 686 M (bukit barat).

 Karang Birahi berangka tahun 688 M (Jambi) prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari berbahasa melayu kuno.
Bahasa melayu kuno itu hanya dipakai pada zaman sriwijaya saja karena di jawa tengah (Banda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan dibogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa melayu kuno.
 
Pada zaman Sriwijaya, bahasa melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan , yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di Nusantara. Bahasa melayu dipakai sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar nusantara. Informasi dari seorang ahli sejara China I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijay ada bahasa yang bernama Koen Loen (I-Tsing : 63-159), Kou Luen (I-Tsing : 183), K’ouen loven (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Ali Syahbana, 1971 : 0001089), Kun’lun (parnikel, 1977 : 91), K’un-lun (prentice 1978 : 19), ayng berdampingan dengan sanskerta.
Yang dimaksud dengan Koen-Luen adalah bahasa perhubungan (lingua france) dikepulauan nusantara, yaitu bahasa melau. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa melayu tampak makin jelasa dari, peninggalan-peninggalan kerajaan islam, baik yang berupa batu tertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti syair Hamzah Fansuri, hikayat raja-raja Pasai, sejarah melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin. Bahasa melayu menyebar kepelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama islam diwilayah nusantara bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antara pulau, antara suku, antara pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa melayu tidak mengenal tutur.
Pada tahun 1928 bahasa melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun tersebut para tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini dicetuskan melalui sumpah pemuda. Dan baru setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya  pada tanggal 18 Agustus Bahasa Indonesia diakui secara Yuridis.

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.


Ragam Bahasa
Adanya bermacam-macam ragam bahasa terjadi karena fungsi, kedudukan serta lingkungan yang berbeda-beda. Ada beberapa ragam bahasa yaitu :

1.   Ragam Lisan
 Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan pelafalan. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.

2.   Ragam Tulis
 Ragam bahasa Tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Contoh
Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis
1. Putri bilang kita harus pulang 1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang
2. Ayah lagi baca koran 2. Ayah sedang membaca koran
3. Saya tinggal di Bogor 3. Saya bertempat tinggal di Bogor

3.   Ragam Bahasa Baku
 Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya.
 
Berdasarkan pengamatan ragam bahasa baku itu tidak melulu dikaitkan dengan kebakuan kosakata, sebagaimana bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan yang ditetapkan dalam Ejaan yang Disempurnakan.
Kalau kita berpegangan pada KBBI dan pedoman EYD, kita tidak akan memandang judul-judul berita pada surat kabar sebagai judul yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Atau ketika kita melihat bahasa pada dunia periklanan. Dijamin kita akan langsung mengecap bahasa yang digunakan tidak baku. Tapi itu kalau kita memakai sudut pandang preskriptif.
 
Sebaliknya, ketika kita melihat secara deskriptif, kita akan menyadari bahwa sejumlah ragam bahasa yang kita lihat berbeda dari apa yang standar, sebenarnya tidak melulu menjadi ragam bahasa tak resmi.karena r
agam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum.
 
Faktanya, ragam bahasa yang digunakan hampir kebanyakan tidak menggunakan ragam baku. Sehingga definisi ragam baku yang disebutkan terakhir, yaitu “bila pembicaraan dilakukan di depan umum” kini boleh dibilang sudah bergeser.Meski demikian, timbul pula pemikiran baru dalam benak saya. Bahwa ragam bahasa baku itu tampaknya berlaku bagi kalangan tertentu yang menjadi bahasa sasaran kelompok terkait. Dengan demikian, bagi kalangan A, berlakulah ragam bahasa A.
 
Akhirnya, definisi ragam bahasa baku itu, menurut hemat saya, hanya relevan sampai kepada “ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis)”.
B.Contoh ragam bahasa baku:
1. Eko mempunyai Keahlian yang sangat mumpuni untuk bersaing di pertandingan itu.
2. Kakak merupakan contoh teladan yang baik untuk adik-adiknya.
3. Ibu mencuci pakaian di Kali.

4.   Ragam Bahasa Non Baku
Bahasa non baku adalah bahasa sehari-hari yang sering atau lebih banyak digunakan oleh masyarakat terutama oleh masyarakat Indonesia. Seperti bahasa daerah yang sering digunakan oleh masyarakat pedalaman di Indonesia. Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa menulis ataupun mengucapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.Karena memang dikehidupan sehari-hari kita terlalu sulit untuk berbicara dengan menggunakan bahasa baku.
 
Pemakaian bahasa baku dan tak baku ini bertalian dengan situasi,yaitu pemakaian bahasa baku berkaitan dengan situasi resmi atau kedinasan(formal) ,sedangkan pemakaian bahasa tak baku berkaitan dengan tak resmi atau diluar kedinasan.disampin itu jarak antara pembicara dan kawan bicara (pendengar) yang terlihat dari sikap juga mewarnai pemakaian bahasa.
Jarak yang dekat antara pembicara dengan pendengar akan menghasilkan bahasa yang tak baku.sebaliknya jarak jauh,sikap resmi antara pembicara dan kawan bicara akan melahirkan pemakaian bahasa yang baku.

5.   Ragam Baku Tulis
 Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya.

6.   Ragam Baku Lisan
Ragam baku lisan bergantung kepada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapannya.

7.   Ragam Sosial
Ragam sosial yaitu: ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat.

8.   Ragam Fungsional
 Ragam fungsional yaitu: ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Perhatikan contoh-contoh berikut:

·       Ragam Kedokteran adaa empat hal yang membuat seorang dewasa dapat kehilangan daya penglihatannya. Yang pertama kelainan di kornea, lalu kelainan lensa, kelainan di retina, dan terakhir di pusat saraf pengolah data yang datang dari mata. Kelainan kornea dapat diatasi dengan transplatasi kornea yang dilakukan di Indonesia sudah banyak dilakukan. Demikian pula kelainan lensa. Katarak misalnya, sudah bukan hal sulit lagi mengindikasi adanya gangguan fungsi di bagian otak.

·       Ragam Hukum angkah polisi itu dilakukan karena penyidik kesulitan
membuktikan kasus yang menyeret tersangka bekas Kepala Urusan Logistik Beddu Amang itu. Gelar perkara itu untuk mencari kesimpulan menyangkut penyelesaian tersebut. Skandal ini terjadi ketika Beddu Amang menjabat Kepala Bulog pada tahun 1997. Ada kebijakan pemerintah soal pengadaan subsidi pakan ternak bagi peternak dengan mengimpor bungkil kedelai melalui Letter of Credit(L/C) import
.

·        Ragam Niaga Untuk memproduksi roti dan kue, Sukartiningsih kini memiliki mixer yang berukuran besar dan sepuluh oven. Untuk memenuhi pesanan setiap hari Marina membutuhkan sedikitnya 1 kwintal telur ayam, gula pasir, mentega, moka, dan tepung. Dalam sebulan, omzetnya mencapai lebih dari Rp 100 juta.

·       Ragam Agama Dalam Al-Quran dijelaskan pengelompokan ajaran Islam secara garis besar adalah akidah, syariah, dan akhlak. Ajaran Islam merupakan landasan yang mendasari seluruh aktivitas kehidupan Islami. Sistem keyakinan dalam ajaran Islam dibangun dalam enam landasan yang disebut rukun iman. Syariah adalah peraturan yang diberikan Allah SWT untuk mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Akhlak dalam Islam merupakan manifestasi dari akidah dan syariah yang bersifat sakral, absolut, imperatif, akurat, universal, dan memiliki makna ukhrowi.

9.   Ragam Jurnalistik
 Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.

SUMBER      :
·       Forum Bahasa dan Sastra
·       Ahmadi Muhsin, 1990. sejarah dan standarisasi bahasa Indonesia. Bandung : sinar baru algesindo. Aripin Z.E,
·       Broto A. S, “Pengajaran Bahasa Indonesia”, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
·       Tasai, S Amran dan E. Zaenal Arifin, “Cermat Berbahasa Indonesia : Untuk Perguruan Tinggi”, Akademika Pressindo, Jakarta, 2000

ANALISIS PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA


Analisis Perkembangan Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.



Perkembangan Bahasa Indonesia Secara Kronologis
Perkembangan Bahasa merupakan suatu peristiwa bersejarah. Perkembangan bahasa adalah akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengembangan. Pada umumnya perkembangan bahasa tersebut diwujudkan dengan perubahan-perubahan bahasa itu. Dalam modul ini akan diperbincangkan perkembangan bahasa Indonesia sejak terbentuknya hingga sekarang serta perkembangan penyerapan kata dan istilah asing dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
           
 Anda tentu sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini berasal dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Beratus-ratus tahun bahasa Melayu, sebagai dasar bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca di Nusantara. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca).
Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Oleh sebab itu, pada saat bangsa kita memerlukan sebuah bahasa nasional yang dapat dijadikan alat komunikasi secara nasional, penunjukan bahasa Melayu disetujui secara aklamasi. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, atau bahasa Batak yang jumlah pendukungnya jauh lebih besar daripada jumlah pendukung bahasa Melayu, dengan rela dan senang hati menerima putusan itu. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928 dicetuskanlah kedudukan bahasa Indonesia itu dalam suatu ikrar pemuda Indonesia yamg kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada butir ketiga.
Secara lengkap dan ejaan yang asli butir-butir “Sumpah Pemuda” itu dapat Anda simak berikut ini.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
   Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa  
   Indonesia.
           
 Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda itu menjadi ketukan palu berubahnya bahasa Indonesia sebagai lingua franca kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Perkembangan bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia didasarkan pada segi politik  dan ekonomi. Bahasa yang dapat diangkat menjadi bahasa nasional adalah bahasa yang berfungsi di dalam dunia politik dan ekonomi. Bahkan, ketentuan itu dikuatkan lagi oleh kemampuan bahasa tersebut mengungkapkan nilai-nilai budaya dan sastra. Hal itu terlihat pada lahirnya berbagai karya sastra jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, seperti novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, dan novel Azab dan Sengsara (1918) karya Merari Siregar. Bahasa itu pula yang dipakai oleh Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit pemerintah di Indonesia pada awal abad XX ini.

 PERKEMBANGAN EJAAN
        
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa “ejaan” adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan di antara lambang-lambang itu (pemisah dan penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis, ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, serta penulisan dan pemakaian tanda baca.
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut; Apakah bahasa Indonesia sudah memiliki aksara sebelum diresmikan menjadi bahasa persatuan? Jawabnya adalah bahwa bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab-Melayu.
          
Aksara Arab-Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat kedatangan orang Barat dalam menjajah di daerah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu sudah digunakan aksara Latin yang penggunaannya tidak terpimpin.
          
Oleh sebab itu, Ch. A. Van Ophuijsen (seorang ahli bahasa dari Belanda) dibantu oleh dua orang pakar dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan ejaan Belanda, sehingga berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.

Pada tahun 1926, menjelang Sumpah Pemuda, ejaan Van Ophuijsen mengalami revisi dengan tanpa perubahan yang berarti. Pada tahun 1947 muncullah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Oleh karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga Ejaan Soewandi. Memang peresmian ejaan tersebut dilakukan pada tahun 1947, tetapi pekerjaan penyusunan ejaan tersebut sudah disempurnakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia.

Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi itu adalah sebagai berikut:
  1. Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut;
goeroe                            guru
itoe                                 itu
oemoer                           umur

2.   Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut;
tida’                                tidak
Pa’                                  Pak
ma’lum                            maklum
ra’yat                             rakyat

3.   Angka dua (2) boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut;
beramai-ramai                 be-ramai2
anak-anak                       anak2
berlari-larian                    ber-lari2-an
berjalan-jalan                  ber-jalan2


4.   Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seprti kata berikut;
diluar, dikebun, ditulis, ditempuh
diantara, disimpan, dipimpin, dipinggir,
dimuka,ditimpa, disini, dijemput.

5.   Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antara suku kata dan diftong, seperti kata berikut.
didjoempai                      didjumpai
dihargai                          dihargai
moelai                             mulai

6.   Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut.
ekor                                ekor
heran                              heran
merah                             merah
berbeda                          berbeda

            Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slamet Mulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagai ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan  karena politik yang terjadi pada kedua negara itu tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Berbagai perencanaan yang dilakukan  dalam ejaan Melindo berkisar pada (1) penyamaan lambang ujaran antara kedua negara dan (2) perlambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang. Oleh sebab itu, muncullah beberbagai gagasan yang sebagaian gagasan tersebut dituangkan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

            Pada tanggal 16 agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat dalam istilah EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah departemen Pendidikan Kebudayaan yang diketuai olaeh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober1972, Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

            Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
1. Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut ;
    a. /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
    b. /j/ pajung menjadi /y/ payung
    c. /nj/ njanji menjadi /y/ nyanyi
    d. /sj/ isjarat menjadi /sy/ syarat
    e. /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
    f. /ch/ achir menjadi /kh/ akhir
2. Huruf yang resmi pemakaiannya yang dalam ejaan sebelumnya belum resmi
     pemakaiannya seperti berikut ;
      a. pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
      b. pemakaian heruf /v/ dalam kata universitas, valuta
      c. pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
 3. Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, yaitu sebagai berikut ;
     a. pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
     b. pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
4. Penulisan di- awalan dan penulisan di kata depan seperti berikut ;
    a. penulisan awalan pada kata ditulis, dimakan, dijumpai
    b. penulisan kata depan pada kata di muka, di pojok, di antara
5. Bentuk ulang yang tidak ditulis dengan angka dua (2) seperti berikut ;
    Berpandang-pandangan, berlari-lari, rumah-rumah.

BALAI PUSTAKA

Balai Pustaka (
Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka, bahasa Jawa ejaan lama: Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan penerbitan danpercetakan milik negara. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda: "Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September 1908. Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi "Balai Poestaka" pada tanggal 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
Menurut
Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.
Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia-Belanda

Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah
bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.
Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa
Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.
Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan Rakyat (KBR) yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Tidak semua usaha yang dilakukan oleh (BKR) negatif. usaha usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.
Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.

Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten, 1923)
Salah satu novel dalam
bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.

Di era itu juga menjadi penanda penyebaran
sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel Serat Rijantokarangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.


TAMAN BACAAN MASYARAKAT

Yogyakarta (30/08) Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi media lain, yang dilengkapi dengan adanya ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator.
Penyelenggaraan TBM dimaksudkan untuk menyediakan bahan bacaan dalam rangka untuk membantu dan memberikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan (1) kebutuhan, (2) kemampuan keaksaraan, dan (3) keterampilan membaca masyarakat merata, meluas, terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat dengan murah. Adapun tujuannya adalah:
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca masyarakat,
mendukung pembudayaan kegemaran membaca,
mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
mewujudkan kualitas dan kemandirian masyarakat yang berpengetahuan, berketerampilan, berbudaya maju, dan beradab.
Fungsi yang melekat pada TBM adalah sebagai; (1) sumber belajar, (2) sumber informasi, dan (3) sarana rekreasi-edukasi. Sebagai Sumber Belajar, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan dapat memberikan layanan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas membaca dan belajar dalam rangka mendukung terciptanya masyarakat pembelajar sepanjang hayat, seperti: buku pengetahuan untuk membuka wawasan dan menambah pengetahuan, buku keterampilan, untuk memperoleh berbagai keterampilan praktis yang bisa dipraktekkan setelah membaca misal praktek memasak, budidaya ikan, menanam cabe dan lainnya.
Sebagai sumber informasi, dalam menyediakan bahan bacaan, selain buku-buku TBM juga menyediakan koran, tabloid, dan referensi, seperti brosur, leaflet yang semuanya ini dapat memberikan informasi. Disamping itu dengan peralatan elektroniknya TBM dapat juga menyediakan internet yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengakses informasi melalui dunia maya.
Sebagai tempat rekreasi-edukasi, dengan buku-buku nonfiksi yang disediakan memberikan hiburan yang mendidik dan menyenangkan. Lebih jauh dari itu, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berperilaku, bergaul di masyarakat lingkugan.
Dari pengertian TBM disebutkan bahwa pengelola TBM berperan sebagai motivator, artinya pengelola TBM diharapkan mampu mendorong masyarakat dan khususnya pengunjung untuk mau dan mampu meningkatkan keterampilan membaca dengan kreativitasnya memberikan layanan. Layanan yang dapat diberikan TBM adalah:
Membaca ditempat, agar pengunjung mau dan gemar membaca di TBM maka bahan bacaan yang disediakan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Dengan menemukenali minat dan karakteristik pengunjung dapat menentukan bahan bacaan yang tepat.
Meminjamkan buku, artinya buku dapat dibawa pulang untuk dibaca dirumah dalam waktu tertentu dan peminjam wajib mengembalikan tepat waktu.
Pembelajaran, dengan menggunakan berbagai pendekatan, misalnya:
membacakan buku dan/atau mendongeng untuk anak usia dini,membimbing belajar membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi,belajar sambil praktek keterampilan atau melaksanakan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat,membimbing teknik membaca cepat (scanning dan skimming),
menemukan kalimat dan kata kunci dari bacaan,lomba menceriterakan kembali buku yang telah dibaca, membedahnya dan mengenal bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjadi pembaca dan penulis kreatif.

EJAAN SOEWANDI DAN EYD.
Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD

1. Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.

2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
tj
ch
C
dj
J
J
ch
kh
Kh
nj
ny
Ny
sj
sh
Sy
j
Y
Y
oe*
U
U





SUMBER :
·       http://kedaibahasasastraindonesia.blogspot.com/2011/10/perkembangan-bahasa-indonesia-secara.html